bulat.co.id - Ahli Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar di dalam film dokumenter
Dirty Vote mengungkap berbagai bentuk skandal dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024. Salah satunya soal wacana Pemilu satu putaran yang digaungkan Paslon 02 Prabowo-GibranPengajar hukum di Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menyatakan bahwa pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 terus memimpin dalam berbagai lembaga survei.
Tren survei yang belakangan ini tembus di atas 50% memicu optimisme dari kubu Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka untuk menyelenggarakan Pemilihan Presiden alias Pilpres 2024 satu putaran.
Menurut Zainal, jika pemilu berlangsung 2 putaran, hal itu tidak akan menguntungkan kubu 02 karena bisa berpotensi kalah.
"Kembali pertanyaannya soal mengapa satu putaran? dua putaran itu membuat risiko kekalahan bagi orang yang sedang memimpin itu menjadi besar," katanya, di film tersebut.
Dia menjelaskan bahwa sebenarnya secara ilmu politik dan hukum tata negara bahwa pertarungan Pemilu itu seringkali melahirkan dikotomi (membagi dua kelompok).
"Dikotomi antara status quo dan perubahan, antara orang yang jualannya adalah melanjutkan yang terdahulu, dengan orang yang jualannya adalah ingin melakukan perubahan atau perbaikan secara mendasar," ujarnya.
Kemudian, dia menegaskan bahwa dikotomi ini bukan khas Indonesia, tetapi bisa terjadi di berbagai belahan negara di dunia.
Flashback Pilkada DKI
Bahkan, dia mengungkap bahwa dalam tingkat yang lebih lokal pernah terjadi dikotomi, dalam konteks Pilkada DKI Jakarta.
"Kalau Anda lihat Pilkada DKI Jakarta, menurut data survei secara konstan sebenarnya pasangan Ahok dan Djarot yang kita ketahui didukung juga oleh Presiden Jokowi senantiasa secara konstan memenangkan posisi paling atas dari semua survei," ucapnya.
Dia menjelaskan bahwa jika dilihat dari hasil putaran pertama, memang Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dan Djarot memenangkan paling atas, diikuti oleh Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, serta kemudian Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Silviana.
"Tetapi yang terjadi adalah putaran kedua keadaan tersebut berbalik, mengapa berbalik? karena bersatunya kekuatan pengkritik atau bersatunya kekuatan yang melawan orang yang paling teratas itu Anies dan AHY, seakan-akan memiliki angka penjumlahan antara jumlah suara Anies dan AHY pada saat itu," ujarnya.
Menurutnya, itu sebabnya kemudian pasangan yang didukung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat itu, yaitu Ahok dan Djarot harus kalah.
Belakangan muncul gerakan empat jari. Gerakan itu simbol perlawanan.
"Gerakan 4 jari itu seakan-akan menjadi tawaran seakan-akan menjadi simbol bahwa ke depan dalam Pilpres kali ini adalah penggabungan kekuatan 01 dan 03 melalui gerakan empat jari atau gerakan 04," ujarnya.
Seperti diketahui, bahwa paslon nomor urut 2, Prabowo-Gibran mengklaim selalu mendapatkan lebih dari 50% dalam survei, dan meyakini akan satu putaran Pemilu.
Sementara, muncul gerakan empat jari, yang diduga paslon nomor urut 01 dan 03 akan bergabung dan berkoalisi melawan 02 di putaran kedua.