bulat.co.id - Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY memberikan
catatan terkait sistem pemilu. SBY bahkan mewanti-wanti Mahkamah Konstitusi
agar jangan sampai keliru.
Pernyataan SBYini disampaikan melalui tulisannya di Facebook
yang dibagikan kepada wartawan, Minggu (19/2/2023). Dalam tulisan tersebut, SBY
mengaku tertarik dengan isu pergantian sistem pemilu seperti dalam gugatan di
MK. Dia sudah lama tidak mengomentari isu perpolitikan Tanah Air.
Baca Juga: Presiden Jokowi dan Menhan Prabowo Subianto Bertemu di Istana, Ini Hasilnya
"Benarkah sebuah sistem pemilu diubah dan diganti
ketika proses pemilu sudah dimulai, sesuai dengan agenda dan 'time-line' yang
ditetapkan oleh KPU? Tepatkah di tengah perjalanan yang telah direncanakan dan
dipersiapkan dengan baik itu, utamanya oleh partai-partai politik peserta
pemilu, tiba-tiba sebuah aturan yang sangat fundamental dilakukan perubahan?
Ini tentu dengan asumsi bahwa MK akan memutuskan sistem proporsional tertutup
yang mesti dianut dalam Pemilu 2024 yang tengah berjalan saat ini," kata
SBY, dilansir dari detikcom.
SBY lalu mempertanyakan situasi kegentingan apa yang
mengharuskan sistem pemilu harus diubah. SBY mencontohkan situasi krisis pada
tahun 1998, ketika reformasi terjadi dan rezim Orde Baru Soeharto berakhir.
"Apakah saat ini, ketika proses pemilu telah
berlangsung, ada sebuah kegentingan di negara kita, seperti situasi krisis
tahun 1998 dulu misalnya, sehingga sistem pemilu mesti diganti di tengah
jalan," ujar SBY.
SBY mengakui mengubah sebuah sistem memang dimungkinkan. Meski
demikian, SBY menegaskan saat ini proses pemilu tengah berjalan dah sebaiknya
dilakukan musyawarah bersama ketimbang mengajukan gugatan ke MK.
"Mengubah sebuah sistem tentu amat dimungkinkan. Namun,
di masa 'tenang', bagus jika dilakukan perembukan bersama, ketimbang mengambil
jalan pintas melakukan judical review ke MK," katanya.
Dia menilai, perubahan untuk menyempurnakan sistem pemilu di
Indonesia bukanlah hal yang tak mungkin. Namun, SBY menyebut penyempurnaan ini
jangan hanya bergerak dari sistem terbuka, yang sekarang digunakan, berubah ke
sistem tertutup.
"Jika kita hendak melakukan perubahan yang bersifat
fundamental, misalnya konstitusi, bentuk negara serta sistem pemerintahan dan
sistem pemilu, pada hakikatnya rakyat perlu diajak bicara. Perlu
dilibatkan," ucapnya.
"Ada yang menggunakan sistem referendum yang formal
maupun jajak pendapat yang tidak terlalu formal," ujarnya.
Menurut SBY, eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak
boleh begitu saja menggunakan kekuasaan untuk langsung mengubah hal yang
mendasar. Khususnya, mengubah hal yang menyangkut 'hajat hidup orang banyak.'
"Menurut pendapat saya, mengubah sistem pemilu itu
bukan keputusan dan bukan pula kebijakan (policy) biasa, yang lazim dilakukan
dalam proses dan kegiatan manajemen nasional (kebijakan pembangunan
misalnya)," ucapnya.
Rakyat Perlu Diajak Bicara
Bagi SBY, rakyat perlu diajak bicara soal wacana perubahan
sistem pemilu. Pemerintah, kata mantan ketua umum Partai Demokrat itu, perlu
membuka diri untuk membahas sistem pemilu.
"Bagaimanapun rakyat perlu diajak bicara. Kita harus
membuka diri dan mau mendengar pandangan pihak lain, utamanya rakyat.
Mengatakan 'itu urusan saya dan saya yang punya kuasa,' untuk semua urusan,
tentu tidaklah bijak," katanya.
"Sama halnya dengan hukum politik 'yang kuat dan besar
mesti menang, yang lemah dan kecil ya harus kalah,' tentu juga bukan pilihan
kita. Hal demikian tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang kita anut
bersama," ucapnya.
SBY kemudian menyampaikan nilai nilai warisan dari para
pendiri Republik Indonesia seperti musyawarah mufakat hingga berdialog dan
berembuk.
"Saya mempelajari secara mendalam, bagaimana dengan
cerdas dan arifnya, founding fathers kita. Bung Karno, Bung Hatta, Yamin,
Supomo, Ki Bagus dan lain-lain, bersedia untuk berembuk dan saling mendengar
untuk merumuskan dasar-dasar negara baru (Republik Indonesia) yang dinilai
paling tepat," katanya.
Bagi SBY, rakyat perlu dijelaskan soal perubahan sistem
pemilu secara gamblang. Perlu disampaikan apa yang berbeda antara sistem
terbuka dan sistem tertutup.
"Mereka harus tahu bahwa kalau yang digunakan adalah
sistem proporsional tertutup, mereka harus memilih parpol yang diinginkan.
Selanjutnya partai politiklah yang hakikatnya menentukan kemudian siapa orang
yang akan jadi wakil mereka," kata SBY.
"Sementara, jika sistem proporsional terbuka yang
dianut, rakyat bisa memilih partainya, bisa memilih orang yang dipercayai bisa
menjadi wakilnya, atau keduanya partai dan orangnya," ucapnya.
Wanti-wanti MK
SBY tak menyampaikan sistem mana yang dia pilih, terbuka
atau tertutup. SBY hanya ingin menyampaikan bahwa sebuah perkara besar dan
fundamental perlu dibahas bersama rakyat.
"Meskipun saya punya sejumlah pandangan dan pemikiran,
namun bukan itu inti tulisan singkat saya ini. Saya hanya ingin mengingatkan
bahwa perkara besar yang tengah ditangani oleh MK ini adalah isu fundamental,
hakikatnya salah satu 'fundamental consensus' dalam perjalanan kita sebagai
bangsa," katanya.
"Apalagi, putusan MK bersifat final dan mengikat.
Bagaimana jika putusan MK itu keliru? Tentu bukan sejarah seperti itu yang
diinginkan oleh MK, maupun generasi bangsa saat ini," katanya.
Menurut SBY, negeri ini perlu memiliki budaya untuk
mengedepankan 'The power of reason.' Menurut SBY, itulah karakter dari budaya
bangsa maju.
"Begitulah karakter bangsa yang maju dan rasional.
Permasalahan bangsa mesti dilihat secara utuh dan seraya tetap berorientasi ke
depan, serta untuk memenuhi aspirasi besar rakyatnya. Bukan pikiran dan
tindakan musiman, apalagi jika bertentangan dengan kehendak dan pikiran bersama
kita sebagai bangsa," ucapnya.