bulat.co.id -
BANTUL | Civitas Akademika Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (
UMY) menilai,
revisi Undang-undang (UU)
tentang penyiaran dapat membatasi pers dalam menjalankan perannya sebagai pilar demokrasi. Karena itu, mereka meminta agar pemerintah segera menghentikan proses revisi UU penyiaran.
Dosen Ilmu Komunikasi UMY, Dr. Senja Yustitia mengatakan, bahwa pihaknya menyoroti kejanggalan dari Revisi UU No.32 Tahun 2002 ini dari dua aspek, yaitu substansi dan proses revisi. Terkait substansi, kata Senja, akan bersifat mengikat bagi publik sementara prosesnya merupakan cerminan apakah pemerintah melalui DPR sudah transparan dan melibatkan masyarakat sipil.
"Ada beberapa hal yang menurut kami sangat krusial, mengingat jika rancangan revisi UU ini disahkan dapat menghalangi kebebasan pers, terutama karena akan adanya pelarangan pembuatan konten investigasi jurnalistik," katanya kepada wartawan, Jumat (24/5/24).
"Ini sangat berbahaya, karena kita semua tahu bahwa investigasi menjadi produk jurnalistik yang dapat mengawasi jalannya pemerintahan dan merupakan bagian dari upaya publik dalam melihat proses demokrasi di Indonesia," lanjut Senja.
Menurutnya, upaya pembungkaman pers pun terlihat dari adanya potensi pemberitaan media yang dapat dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik atas pasal-pasal yang terkait dengan pencemaran nama baik. Di mana hal tersebut merupakan tindakan represif bagi media sebagai sebuah organisasi berita dan bagi jurnalis yang terlibat.
"Dari sisi proses penyusunan revisi UU, sepanjang yang kami lihat bahwa DPR kurang memperhatikan keterlibatan dari masyarakat sipil, termasuk jurnalis, akademisi dan praktisi lembaga penyiaran. Maka proses revisi UU ini pun menjadi sangat elitis dan didiskusikan secara serampangan oleh DPR, padahal publik dan masyarakat yang akan terdampak secara langsung jika kemudian revisi ini disahkan," ucapnya.
Senja menilai bahwa proses revisi UU seharusnya menerapkan prinsip kehati-hatian. Semua itu demi menghindari adanya pasal-pasal yang dapat mencederai kehidupan demokrasi yang ditandai dengan pelarangan konten jurnalistik sebagai wadah untuk mengawasi pemerintah.
Oleh sebab itu, Senja berharap bahwa masukan dari civitas akademika Ilmu Komunikasi UMY dapat menjadi pertimbangan dalam diskusi lebih lanjut mengenai revisi UU penyiaran.
"Bersamaan dengan hal tersebut, seluruh civitas Akademika Ilmu Komunikasi UMY menyampaikan pernyataan sikap kepada pemerintah khususnya DPR, yaitu menghentikan proses revisi UU penyiaran," ujarnya.
"Seluruh proses revisi harus melibatkan lebih banyak masyarakat sipil, yaitu jurnalis, akademisi, periset, dan berbagai kalangan lain. Ketiga, memastikan semua pihak yang terdampak mendapatkan kesempatan untuk memberikan masukan serta terlibat aktif dalam proses legislasi," imbuh Senja.