bulat.co.id -Kementerian Luar Negeri RI (Kemenlu) berikan komentar setelah Presiden
Jokowi berencana mengirimkan jenderal ke
Myanmar untuk berdialog dengan junta militer.
Sekretariat Jenderal ASEAN
Kemenlu RI Sidharto Suryodipuro mengatakan tak ada pembahasan terkait pengiriman jenderal ke Myanmar.
"Tadi tidak dibahas waktu makan siang," kata Sidharto kepada wartawan di Sekretariat ASEAN, Jakarta, Jumat (3/2/2023) dilansir dari CNN.
Sidharto tak menampik bahwa Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi membahas utusan khusus atau special envoy dengan Jokowi. Namun, dia tak menjelaskan lebih rinci.
Ia hanya menjelaskan utusan khusus saat ini menjalin komunikasi dengan semua pihak untuk menghentikan kekerasan di Myanmar.
Baca juga: Penampakan 'Kota Hantu' di Myanmar, Ternyata Ini Penyebabnya
"Indonesia sebagai ketua menjalin komunikasi dengan semua pihak, dalam rangka mendorong penghentian kekerasan, dalam rangka [membangun] dialog yang inklusif dan penyaluran bantuan kemanusiaan," ungkap Sidharto lagi.
Dirjen ASEAN itu juga menerangkan Menlu sudah membentuk pejabat utusan khusus di bawah koordinasi Retno.
Rencana Indonesia bakal mengirim jenderal ke
Myanmar mencuat saat
Jokowi wawancara eksklusif dengan Reuters.
Jokowi berharap langkah ini bisa membuat transisi menuju demokrasi di Myanmar.
"Ini soal pendekatan. Kami punya pengalaman, di sini, di Indonesia, situasinya sama," kata Jokowi. Rabu (1/2/2023).
Baca juga: Tembakan Jet Tempur di Myanmar Tewaskan 80 Orang
Indonesia pernah berada di bawah kendali militer selama lebih dari tiga dekade. Rezim ini tumbang usai krisis ekonomi dan protes massal pada 1998.
Ia kemudian berujar, "Pengalaman ini bisa menunjukkan, bagaimana Indonesia memulai demokrasi."
Ia kemudian berujar, "Pengalaman ini bisa menunjukkan, bagaimana Indonesia memulai demokrasi."
Namun,
Jokowi enggan membeberkan siapa jenderal yang akan dikirim ke Myanmar. Ia hanya mengatakan jenderal tersebut terlibat dalam reformasi Indonesia.
Junta militer Myanmar mengambil kekuasaan secara paksa dari pemerintah yang sah pada 1 Februari 2021. Mereka menangkap pejabat negara mulai dari Presiden Win Myint hingga penasihat negara Aung San Suu Kyi.
Tak lama usai kudeta, protes meletus di hampir seluruh penjuru negeri. Namun, militer menanggapinya dengan kekuatan berlebih.
Mereka menangkap siapa saja yang menentang pemerintahannya dan tak segan membunuh warga sipil.