bulat.co.id -
LABUAN BAJO |Merespons Rencana Pelaksanaan Sidang Etik Aparat Polres Manggarai terkait Kasus Kekerasan terhadap Pemred
FloresaPolda NTT telah memberi informasi kepada Floresa soal rencana pelaksanaan sidang etik terhadap anggota Polres Manggarai yang dilaporkan ikut dalam peristiwa kekerasan terhadap Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut.
Menurut informasi yang disampaikan oleh salah satu penyidik dari Divisi Profesi dan Pengamanan [Propam] Polda NTT, sidang itu semula akan digelar di Ruteng pada hari ini, Kamis, 20 Februari 2025.
Namun, informasi terbaru yang disampaikan pada Rabu, 19 Februari 2025, sidang itu ditunda karena Propam tidak mendapat tiket pesawat dari Kupang ke Ruteng. Belum ada pemberitahuan lebih lanjut soal kepastian pelaksanaan sidang itu.
Propam Polda NTT juga telah meminta Herry bersama para saksi, yakni warga Poco Leok di Kabupaten Manggarai untuk hadir dalam sidang etik tersebut.
Sidang itu dilakukan empat bulan lebih setelah Herry melaporkan anggota Polres Manggarai yang menganiayanya pada 2 Oktober 2024 saat sedang meliput aksi protes warga Poco Leok terhadap proyek geotermal.
Saat itu, Herry dianiaya hingga mengalami luka dan alat kerjanya dirampas dan isinya diperiksa polisi. Ia juga disekap di dalam mobil polisi selama berjam-jam sebelum dibebaskan menjelang malam. Beberapa warga Poco Leok juga menjadi korban, yang juga ikut melapor ke Polda NTT.
Merespons laporan Herry, tim penyidik Polda NTT telah mendatangi lokasi kejadian di Poco Leok pada 23 Oktober 2024 dan meminta keterangan para saksi.
Terkait rencana penyelenggaraan sidang etik ini, Ferdinansa Jufanlo Buba, salah satu kuasa hukum Herry berharap siapapun anggota polisi yang terlibat dalam pelanggaran etik harus mendapat hukuman disiplin yang maksimal sehingga ada efek jera.
"Kasus ini adalah kasus serius yang melibatkan aparat penegak hukum. Ketegasan Propam untuk memberi sanksi terhadap polisi yang melanggar akan memberi pesan penting bagi publik bahwa Polri memiliki komitmen untuk mencegah keberulangan kasus serupa," katanya.
Ia juga menyatakan, dalam kasus ini, Herry jelas-jelas menjadi korban kekerasan, yang dibuktikan dengan luka pada tubuhnya, juga keterangan saksi-saksi di lapangan.
"Karena itu, tidak ada alasan bagi polisi untuk tidak menindak anggotanya," katanya.
Sementara itu, Erick Tanjung, Koordinator Satuan Tugas Anti Kekerasan Jurnalis di Dewan Pers berharap sidang etik yang akan digelar dapat berjalan secara transparan dan sesuai ketentuan yang berlaku.
"Pelaku harus diproses dan harus ada sanksi disiplin dan etik yang tegas, sehingga ada efek jera," katanya.
Erick menyatakan sidang etik tersebut harus dapat mengungkap dan memberi sanksi terhadap semua polisi yang terlibat.
Bahkan, kata dia, Kapolres Manggarai, AKBP Edwin Saleh sebagai atasan juga harus ikut dimintai pertanggungjawaban karena ada garis komando.
"Harus dibuka secara terang-benderang, tidak boleh ada upaya untuk menutup-nutupi kasus ini," kata Erick yang juga Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis [KKJ], sebuah koalisi sejumlah lembaga advokasi yang memberi perhatian pada keamanan jurnalis.
Hal itu, kata Erick, untuk memenuhi rasa keadilan korban.
"Tidak boleh ada impunitas terhadap pelaku kekerasan, apalagi pelakunya adalah kepolisian sebagai aktor negara."
Mengangkat contoh proses etik terhadap dua polisi pelaku kekerasan terhadap Nurhadi, jurnalis Tempo yang menjadi korban kekerasan pada 2021, ia mengingatkan kepolisian agar tidak melakukan hal serupa, yakni pemberian sanksi ringan yang tidak menimbulkan efek jera.
Padahal, kata dia, catatan Aliansi Jurnalis Independen, di mana ia juga menjadi bagian dari pengurusnya, menunjukkan polisi menjadi pelaku paling banyak dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis selama lima tahun terakhir.
"Kapolri harusnya belajar dari kasus ini, harus melakukan reformasi agar tidak lagi melindungi anggotanya yang terlibat dalam kasus hukum."
Protes Terhadap Penghentian Penyelidikan
Sayangnya, kabar soal rencana pelaksanaan sidang etik ini juga disertai informasi soal langkah Divisi Reserse dan Krimnal Umum Polda NTT menghentikan penyelidikan tindak pidana kasus ini, yang mereka sampaikan dalam surat Nomor: B/20/I/2025Ditreskrimum tentang Penghentian Penyelidikan pada 6 Januari 2025.
Dalam surat itu, Polda NTT hanya menyatakan bahwa penyelidikan dihentikan karena "tidak cukup bukti."
Surat itu menyebut hanya salah satu orang yang diselidiki, yakni Henrikus Hanu, anggota Polres Manggarai, meski polisi menyebut perkara ini sebagai "pengeroyokan."
Hendrikus merupakan salah satu dari beberapa polisi yang dilaporkan oleh Herry. Terlapor lainnya adalah Terry Janu, salah satu jurnalis berbasis di Ruteng yang teridentifikasi bekerja pada media Infopertama.com, yang juga ikut menganiaya Herry.
Yulianus Ario Jempau, juga pengacara Herry berkata, langkah Polda NTT menghentikan proses pidana ini sangat mengecewakan.
"Bagaimana bisa dikatakan tidak cukup bukti, sementara kami sudah mengajukan bukti-bukti penganiayaan, berupa foto-foto bekas luka, juga hasil pemeriksaan dokter yang juga diperkuat oleh kesaksian para saksi di lapangan," katanya.
Ia menjelaskan, polisi juga seharusnya mempertimbangkan kesaksian para saksi bahwa saat kejadian itu aparat mengejar warga yang berusaha merekam dengan ponsel selama Herry dianiaya.
Karena itu, kata dia, patut diduga ada upaya terencana untuk menghilangkan jejak yang bisa memperkuat bukti penganiayaan terhadap Herry.
Ario menambahkan, penting dicatat bahwa dalam kasus ini, tidak hanya aparat yang terlibat, tetapi juga jurnalis yang sayangnya ikut menganiaya Herry.
"Kalau kasus pidana ini dihentikan, ini sama saja dengan membiarkan kekerasan terhadap jurnalis. Kali ini Herry yang jadi korban, ke depan, jurnalis lain juga mungkin mengalami hal serupa," katanya.
Karena itu, kata dia, kuasa hukum akan menyurati Polda NTT untuk meminta penjelasan rinci soal alasan mereka menghentikan proses pidana ini.
"Polda NTT harus bisa memberi penjelasan yang meyakinkan, apa saja alasan-alasan mereka," katanya.
Lembaga Bantuan Hukum [LBH] Pers yang memberi perhatian terhadap kasus kekerasan terhadap jurnalis ikut mendesak agar proses hukum tetap dilanjutkan.
"Penghentian penyelidikan terhadap kasus kekerasan terhadap jurnalis seperti ini bukan pertama kali terjadi. Preseden serupa juga terjadi pada penyelesaian kasus teror terhadap Victor Mambor, jurnalis Jubi.id di Papua tahun lalu," kata Chikita Edrini Marpaung, pengacara publik dari LBH Pers
"Ini menjadi catatan merah dalam sejarah penegakkan hukum terhadap jaminan perlindungan kemerdekaan pers," tambahnya.
LBH Pers, katanya, ikut mendesak Polda NTT memberikan keterangan lebih lanjut terkait dengan argumen "tidak cukup bukti" yang dicantumkan dalam surat kepada korban.
"Polda NTT tentunya paham bahwa terdapat sejumlah ketentuan yang wajib dipenuhi oleh penyelidik dalam menerbitkan surat ketetapan penghentian penyelidikan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/7/VI/2018 tentang Penghentian Penyelidikan," katanya.
"Polda NTT harus membuka secara benderang, alat bukti apa saja yang telah ditemukan selama proses penyelidikan dan mengapa dikatakan tidak cukup bukti," tambahnya.
Ia menjelaskan, sebelum melaporkan perkara, Herry sudah terlebih dahulu melakukan pemeriksaan fisik yang dilanjutkan dengan visum dan pengumpulan video serta keterangan saksi yang menyaksikan langsung penganiayaan.
"Dokumen itu saja sudah memenuhi syarat dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP," ungkapnya
Chikita menegaskan, kekerasan yang dialami oleh Herry jelas merupakan tindak pidana sesuai Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Pasal itu mengatur pidana dua tahun penjara atau denda Rp500 juta bagi pelaku yang menghambat kerja jurnalistik.
"Penghentian kasus Herry memperpanjang daftar impunitas atau melanggengkan impunitas, mencoreng demokrasi dan mencederai kebebasan pers," katanya.
Sementara menurut Erick Tanjung, penghentian penyelidikan kasus Herry berdampak buruk terhadap kerja-kerja jurnalistik di NTT dan Indonesia.
"Siapapun yang tidak terima pada kerja jurnalis akan lebih leluasa melakukan kekerasan, sebab sangat sedikit pelaku diproses secara hukum," katanya.
Erick juga mengatakan Aliansi Jurnalis Independen akan membawa kasus Herry ke level internasional, "untuk menunjukkan bahwa kondisi kebebasan pers di Indonesia sangat buruk."
"Ini akan memperburuk citra Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi. Yang akan rugi adalah presiden dan rezim yang kini sedang berkuasa."
Ada Upaya Pendekatan Agar Floresa Mau Berdamai
Ryan Dagur, Pemimpin Umum Floresa juga berharap Polda NTT menangani kasus ini secara profesional, baik secara etik maupun pidana.
Ia menjelaskan, selama Polda NTT menangani kasus ini, ada pihak yang menghubunginya yang mengaku mewakili keluarga dari aparat di Polres Manggarai, meminta agar kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan.
"Orang itu menawarkan agar kasus ini diselesaikan dengan mekanisme wunis peheng,'" katanya, merujuk pada istilah denda adat dalam budaya Manggarai terhadap pelaku kekerasan.
"Kami masih menyimpan rekaman permintaan itu, juga bukti-bukti pesannya. Namun, kawan-kawan Floresa memilih tetap melanjutkan proses hukum kasus ini," katanya.
Ia menegaskan, "sejak awal kami telah menyampaikan bahwa langkah melapor kasus ini bukan hanya karena soal Herry juga beberapa warga Poco Leok yang menjadi korban."
"Ini soal kita semua, entah jurnalis maupun warga lainnya, yang berpotensi akan mengalami kejadian serupa, jika kita hanya memilih diam terhadap kekerasan, apalagi yang melibatkan aparat negara."
Ryan menjelaskan, pendekatan kepada Floresa agar kasus ini diselesaikan dengan damai adalah "sebetulnya bentuk pengakuan bahwa polisi bersalah atau terlibat dalam kekerasan terhadap Herry."
"Karena itu, menurut kami, aneh bahwa Polda NTT hanya melanjutkan proses etik, lalu menghentikan proses pidana," katanya.
"Kami memutuskan melapor kasus ini ke Polda NTT karena kami anggap bisa menghadirkan keadilan, sesuatu yang kami ragukan bisa terjadi jika kami melapor ke Polres Manggarai sebagai institusi tempat pelaku bernaung," tambahnya.
Ia menjelaskan, di tengah sorotan terhadap kinerja Polri, kasus ini menjadi salah satu ujian penting bagi profesionalitas dan akuntabilitas Polri yang selalu berikhtiar kepada publik untuk menjalankan slogan Presisi.