bulat.co.id -JAKARTA
| Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin)
Putu Juli Ardika hingga saat ini terus mengembangkan potenis minyak jelantah
untuk avtur pesawat.
Menurut Putu, potensi minyak jelantah (used
cooking oil)yang tengah dikembangkan secara global bisa sebagai bahan
bakar penerbangan yang berkelanjutan (sustainable aviation fuel/SAF).
Baca Juga : Ondim Harapkan Tol Kwala Bingai-Stabat Dorong Pertumbuhan Ekonomi
"Minyak jelantah ini merupakanraw
material(bahan mentah) yang bernilai tambah, terutama untuk bahan
bakar, untuk avtur pesawat terbang, di samping juga untukbiofuel,"
katanya ditemui sesuai melepas ekspor perdana minyak jelantah tertelusur di
Jakarta, Kamis (21/9).
Putu mengakui, bahwa saat ini pengolahan
minyak jelantah di dalam negeri memang masih terus dikembangkan. Namun, ia
memastikan pemerintah terus mendorong pemanfaatan dan pengolahan minyak
jelantah menjadi bahan baku industri yang potensial. "Sekaranggreenfueldi
Indonesia baru dalam penjajakan untuk industri pesawat terbang," katanya.
Baca Juga : 17 Program Dirancang Koalisi Indonesia Maju untuk Menangkan Prabowo
Kemenperin sendiri saat ini tengah terus
mendorong penggunaanindustrial vegetable oil(IVO) salah
satunya yakniFatty Acid Methyl Ester(FAME).
Di sisi lain, ada pula beberapa pemprosesan
sedang didorong untuk menjadigreenfuelatau bahan bakar yang
sifatnya persis sama denganpetroleoumtapi jauh lebih bagus
karena tidak ada kontaminan seperti sulfur, atau logam berat lainnya.
Putu menyebutkan, minyak jelantah sebagai
bagian dari industri oleokimia punya potensi besar sebagaibiomaterialuntuk
menggantikan minyak-minyak yang tidak terbarukan.
"Jadi misalnyapetroleoumitu
jadifueldan jadi semua produk dari tekstil, plastik dan
lainnya, nah ke depan kita juga akan bisa gunakan minyak jelantah jadibiomaterialyang
menggantikan minyak bumi," ujarnya.
Lebih lanjut Putu mengemukakan, meski
potensial untuk memenuhi kebutuhan pasar global yang tinggi, pasokan minyak
jelantah masih menghadapi tantangan.
Ia menyebut,recovery rateatau
tingkat pengumpulan minyak jelantah masih rendah yakni hanya sekitar 8 persen.
Padahal penggunaan minyak goreng di tingkat rumah tangga sangat tinggi. Putu
berharap Sistem Informasi Minyak Jelantah (Simijel) akan dapat mendorongrecovery
ratesehingga pasokan minyak jelantah bisa diolah dengan lebih masif
di dalam negeri.
Baca Juga : Wako Sidimpuan Pimpin Apel Siaga Pendataan KUMKM2023
"Maka, untuk masyarakat (rumah tangga)
masih coba kita dorong karena dia dibuang percuma dan tidak bersahabat dengan
lingkungan," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi
Exportir Minyak Jelantah Indonesia (AEMJI) Setiady Goenawan mengatakan Simijel
yang dikembangkannya diharapkan bisa mendongkrakrecovery ratedari
saat ini 8 persen menjadi 20 persen pada akhir 2024 nanti.
"Ini fungsinya juga untuk meningkatkan
daya tarik Indonesia untuk investasi SAF, yang bahan utamanya itubasicallydariwastetapi
yang paling utama mereka cari adalahused cooking oil. Makanya
perlu ditingkatkanrecovery rateminyak jelantah investasi SAF
bisa lebih menarik," katanya.
Minyak jelantah menjadi satu sumber utama
bahan bakubiofueluntuk industrigreenfuel. Minyak
jelantah, khususnya yang memiliki ketertelusuran asal usul (point-of-origin
traceability) pun menjadi standar baru penerimaan produk tersebut di pasar
Eropa dan AS.
Pasalnya,greenfuelyang dihasilkan
dari minyak jelantah yang tertelusur(well-traceable)mempunyai
emisi net karbon sangat rendah yang berasal dari implementasi prinsip ekonomi
sirkular yaitufrom waste to energy.
Aspek ketertelusuran pun menjadi prasyarat karena
pembeli membutuhkan jaminan asal usul minyak jelantah harus betul-betul berasal
dari titik produksi minyak jelantah alih-alih dari campuran minyak segar atau
minyak-minyak lain dan/atau berasal dari sumber minyak jelantah yang ilegal.
(dhan/ant)