Ia menyebut,recovery rateatau
tingkat pengumpulan minyak jelantah masih rendah yakni hanya sekitar 8 persen.
Padahal penggunaan minyak goreng di tingkat rumah tangga sangat tinggi. Putu
berharap Sistem Informasi Minyak Jelantah (Simijel) akan dapat mendorongrecovery
ratesehingga pasokan minyak jelantah bisa diolah dengan lebih masif
di dalam negeri.
Baca Juga : Wako Sidimpuan Pimpin Apel Siaga Pendataan KUMKM2023
"Maka, untuk masyarakat (rumah tangga)
masih coba kita dorong karena dia dibuang percuma dan tidak bersahabat dengan
lingkungan," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi
Exportir Minyak Jelantah Indonesia (AEMJI) Setiady Goenawan mengatakan Simijel
yang dikembangkannya diharapkan bisa mendongkrakrecovery ratedari
saat ini 8 persen menjadi 20 persen pada akhir 2024 nanti.
"Ini fungsinya juga untuk meningkatkan
daya tarik Indonesia untuk investasi SAF, yang bahan utamanya itubasicallydariwastetapi
yang paling utama mereka cari adalahused cooking oil. Makanya
perlu ditingkatkanrecovery rateminyak jelantah investasi SAF
bisa lebih menarik," katanya.
Minyak jelantah menjadi satu sumber utama
bahan bakubiofueluntuk industrigreenfuel. Minyak
jelantah, khususnya yang memiliki ketertelusuran asal usul (point-of-origin
traceability) pun menjadi standar baru penerimaan produk tersebut di pasar
Eropa dan AS.
Pasalnya,greenfuelyang dihasilkan
dari minyak jelantah yang tertelusur(well-traceable)mempunyai
emisi net karbon sangat rendah yang berasal dari implementasi prinsip ekonomi
sirkular yaitufrom waste to energy.
Aspek ketertelusuran pun menjadi prasyarat karena
pembeli membutuhkan jaminan asal usul minyak jelantah harus betul-betul berasal
dari titik produksi minyak jelantah alih-alih dari campuran minyak segar atau
minyak-minyak lain dan/atau berasal dari sumber minyak jelantah yang ilegal.
(dhan/ant)