Ramang Ishaka Diseret Saksi ke Persidangan Kasus Tanah Karanga

Andy Liany - Sabtu, 15 Juni 2024 10:02 WIB
Ramang Ishaka Diseret Saksi ke Persidangan Kasus Tanah Karanga
istimewa
Wilhelmus Warung, Saksi yang dihadirkan keluarga Alm. Ibrahim Hanta.
bulat.co.id - LABUAN BAJO | Nama Haji Ramang Ishaka ikut diseret oleh saksi dalam persidangan kasus tanah karanga yang berlokasi di Batu Gosok, kelurahan Labuan Bajo kecamatan Komodo kabupaten Manggarai Barat NTT. Rabu, (12/6) di Pengadilan Negeri Manggarai Barat NTT.

Sidang dengan agenda menghadirkan saksi, memanas setelah nama Haji Ramang Ishaka yang disebut sebut memangku jabatan sebagai Dalu disebut oleh saksi yang dihadirkan oleh Muhamad Rudi ahli waris Alm. Ibrahim Hanta sebagai pihak penggugat.

Wilhelmus Warung, saksi yang dihadirkan membeberkan sejumlah fakta yang mengejutkan.

Di depan Majelis Hakim, Wilhelmus bersaksi bahwa ada surat pembatalan penyerahan tanah adat pada tahun 1998 yang melibatkan Haji Ramang, yang pada tahun 2013 mengeluarkan surat pernyataan bahwa ia tidak lagi berhak atas tanah ulayat.

"Fakta sidang kemarin di pengadilan negeri labuan bajo saya sebagai saksi dari penggugat . Hakim tanya anya saya terkait dengan tau atau tidak soal tanah itu," kata Yohanes saat diwawancara Media ini. Jumat, (14/6).

Kata Wilhelmus, tanah itu ia tahu. "Jujur, saya sampaikan kepada hakim bahwa tanah itu saya tahu. Karena tanah itu juga saya pernah Kapu Manuk-Lele Tuak pada tahun 2000. Karena saya mau menanam jagung di situ. Makanya saya Kapu Manuk-Lele Tuak pada Haji Ishaka pada tahun 2000," katanya.

Wilhelmus menjelaskan jawaban Haji Ishaka atas permintaannya pada waktu itu, Yohanes tidak bisa mendapatkan tanah itu karena, tanah tersebut posisinya tumpang tindih antara Nazar Cupu dengan Ibrahim Hanta.

"Makanya Ishaka bilang, saya sudah batalkan tanah atas nama Nazar Supu yang seluas 16 Hektar dua tahun lalu, yaitu Ishaka membatalkan tanah Nazar Supu itu pada tahun 1998, dua tahun sebelum saya minta tanah ini," jelasnya.

"Kemudian saya tanya, bagaimana yang lainnya, "begini di tanah Nazar Supu yang 16 hektar itu, 11 hektar lebihnya itu milik Ibrahim Hanta berdasarkan Kapu Manuk-Lele Tuak pada tahun 1973," lanjut Yohanes.

Selebihnya, kata Wilhelmus di sebelah selatan itu sudah menjadi milik yayasan Pemda Manggarai.

"Sehingga kalau ade paksa untuk mendapatkan posisi di situ, sesungguhnya 16 hektar milik Nazar Supu sudah tidak ada tanah di situ. Karena yang memiliki sebelum dia ada Ibrahim Hanta sebanya 11 hektar lebih. Kemudian untuk yayasan Pemda Manggarai ada 4 hektar lebih di sebelah selatannya itu. Sehingga, niat saya untuk mendapatkan tanah itu tidak bisa di situ pada tahun 2000. Tetapi tetap saya maju terus, bagaimana saja caranya pak Haji bagaimana saya mendapatkan tanah itu," beber Wilhelmus.

"Begini dia bilang, kalau kau paksa disini tidak bisa. Saya buktikan bahwa ini suratnya. Surat ini, surat Nazar Supu ini. 16 hektar lebih ini dan ini surat pembatalan yang saya buat dua tahun ini yaitu 9," tambahnya.

Wilhelmus menegaskan, Haji Ishaka menunjukan surat milik Nazar Supu 16 hektar itu. "Dia [Haji Ishaka] tunjuk surat pembatalan itu," ujarnya.

Kata Wilhelmus, dia telah mengantongi dua surat pembatalan penyerahan tanah tahun 1990 dan 1991 tersebut.

"[Kata Haji Ishaka] Begini sudah kau kenal Haji Djuje? Terus saya bilang kenal baik dengan Haji Djuje.

[Kata Haji Ishaka] Kebetulan Haji Djuje itu adalah ia penata tanah atas dasar kuasa saya," terang Wilhelmus.

Kepada Haji Ishaka, Wilhelmus mempertanyakan keyakinannya akan Haji Djuje.


"[Haji Ishaka] Jadi begini, saya kasih kopiannya saja surat kuasa saya kepada Djuje untuk menata tanah 16 lengkong termasuk titik tanah Krangang yang sekarang sedang bersengketa itu dia tunjuk. Termasuk tanah yang tumpang tindih ini. Makanya Haji Ishaka pada 2000 itu dia juga serahkan surat kuasa penataan tanah ke Haji Djuje yaitu pada tahun 1996," jelas Wilhelmus.

"Sehingga saya pegang dua kopian waktu itu, waktu saya pulang. Satu adalah surat pembatalan terkait tanah Nazar Supu itu yang 98 itu, kemudian ada juga surat pembatalan atas nama Beatriks Seran, atas nama Niko Naput. Niko Naput, disitu dia bilang ada 10 hektar dibatalkan, Betariks Seran ada 5 hektar dibatalkan, Nazar Supu 16 hektar dibatalkan," lanjutnya.

Dia menambahkan, setelah bertemu Haji Ishaka, ia kemudian bertemu Haji Djuje untuk minta tanah.

"Saya kemudian ketemu bapak Haji Djuje. Bapak, Saya minta tanah, saya amanat dari pak Haji Ishaka. Kapu Manuk Lele Tuak saya sudah dia terima, tetapi saya minta tanah itu di Keranga. Tapi dia bilang tanah itu sudah ada yang punya," bebernya.

"Akhirnya permintaan saya di depan Haji Djuje itu dikabulkan. Dan Haji Djuje disposisikan saya tanah pada tahun itu di Goso Ngia. Sehingga saya dapatkan tanah-tanah itu di Goso Ngia, termasuk teman-teman saya banyak dapat tanah disitu, ada Pak Feri Adu, ada pak Jhon Pasir, pokoknya banyak. Sehingga bentuk respons balik dari Adat Nggorang, bentuk peduli atas dasar permintaan saya saat itu," terangnya.

Kata Wilhelmus, Pada tahun 2000 Haji Ramang itu masih PNS aktif di Taman Nasional Komodo. "Sehingga kuasa membagi tanah itu tidak mungkin jatuh ke anak kandungnya ke Haji Ishaka. Dan tanah-tanah itu sudah dikuasakan semua," jelasnya.

"Saya pernah terlibat diskusi, contohnya pada waktu itu yang libatkan itu anggotanya Djuje, ada namanya Kanis Hanu, ada namanya Ismail Ele, ada namanya Usaman Umar. Usman Umar itu satu-satunya yang masih hidup. Tapi Ramang kan tidak bisa hidup, dia kan masih PNS," ujarnya.

Kata Wilhelmus, Haji Ramang tidak turun ke lapangan. "Dia itu (haji Ramang) tidak turun lapangan. Yang tata tanah itu orang yang sudah dia Kuasakan. Termasuk Haji Djuje itu 16 titik, 16 Lingko," lanjutnya.

"Menurut saya, sebaiknya Haji Ramang itu jangan menjadi dasar pemicu konflik tanah. Itu saran saya sebagai warga di Kota Labuan Bajo. Karena tanah itu sudah ditata semua. Dan ada semua penatanya. Ramang itu tidak pernah menata. Dan sudah ada pemiliknya semua. Tidak berhak lagi, apalagi mengeluarkan surat pengukuhan kepada orang. Kemudian ada juga saya pernah nonton pada tahun 2013 lalu, untuk tidak ada kepentingan konflik tanah di Labuan Bajo ini sebaiknya, turunan-turunan adat di Labuan Bajo ini bersatu untuk ditanya, kemudian harus keluar statment dalam bentuk berita acara resmi. Termasuk haji Ramang waktu itu. Saya nonton sendiri waktu itu. Ada haji Ramang, kemudian ada Haji Umar, ada semua anak-anaknya. Kemudian ada juga saksi-saksi, ada pak Anton Said, ada Anton Antam, ada Frans Ndejeng, ada Pak Feri Adu, Theo Urus dari Lancang, Tua-tua Golo-tua Golo semua, ada Niko Nali," beber Wilhelmus.

Kata Wilhelmus, Haji Ramang tidak punya hak lagi untuk menata kembali tanah tanah yang sudah ditata.


"Termasuk saya. Saya saya tidak berhak tanda tangan karena saya bukan tua golo. Waktu itu sudah sepakat, bahwa dia [Ramang] tidak boleh menata kembali tanah-tanah yang sudah ditata. Karena tidak ada lagi tanah yang belum ditata. Sudah habis ditata semua. Ramang, disarankan semua fungsionaris adat dikuatkan kembali apa yang pernah ditata kewenangan dari Bapaknya sendiri. Dan orang-orang yang dipercaya itu tidak boleh diganggu gugat lagi," jelas Wilhelmus.

Kata dia, Haji Ramang dianggap melanggar adat dan tidak mengerti dengan adat.

Sementara itu, Haji Ramang Ishaka saat dikonfirmasi enggan memberi komentar.

Kata Ramang, ia tidak ada urusan dengan masalah tersebut.

Penulis
: Ven Darung
Editor
: Andy Liany
Tags
Berita Terkait
Komentar
Berita Terbaru