bulat.co.id - Massa dari Aliansi Gerakan Rakyat Tutup Toba Pulp Lestari (TPL) menggelar demo berjilid di Polda Sumut. Demo itu buntut dari penangkapan Ketua Komunitas Adat Umbak Siallagan,
Sorbatua Siallagan (65 tahun).
Sorbatua yang menjadi pemimpin perjuangan atas tanah adat, ditangkap atas laporan PT TPL atas dugaan penebangan, pembakaran, dan pengrusakan lahan milik PT TPL.
Lantas, benarkah tuduhan PT TPL itu?
Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Jhontoni Tarihoran bercerita soal itu.
Seperti dilansir kumparan, lahan yang diklaim PT TPL itu menurut Jhontoni adalah tanah adat Masyarakat Komunitas Adat Umbak Siallagan.
PT TPL (dulunya Indorayon) adalah perusahaan penggilingan kertas di Kecamatan Porsea, Toba, Sumut sejak tahun 1983.
Jhontoni bilang, lahan itu sudah didiami oleh masyarakat sejak lama. Bahkan sekitar 11 generasi atau 250 tahun.
"Tanah di Dolok Parmonangan itu kan adalah Tanah Adat Dolok itu sendiri. Mereka secara turun menurun sudah tinggal di sana," kata Jhontoni saat dihubungi pada Kamis (28/3).
"Mereka sampai hari ini sudah ada sekitar 11 generasi dari leluhur mereka yang menguasai dan mengelola wilayah adat itu sehingga mereka tetap mempertahankan sebagai warisan leluhur ataupun sebagai wilayah tanah adat," sambungnya.
Kata Jhontoni, masyarakat komunitas adat memang tak punya surat tanah atau sertifikat sama sekali. Menurutnya, pemerintah belum memberikan kejelasan batas-batas tanah di sana.
"Nah tanah adat itu secara administrasi memang atau keputusan pemerintah belum dapat pengakuan atau pengukuhan. Gini, nah dalam penataan batas kawasan hutan kan di tempat Dolok Parmonangan itu di Sumut kan masih belum selesai," kata dia.
Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 5 tahun 1999 menyebutkan, tanah adat adalah tanah yang hak ulayat yang dari hukum adat tertentu.
Tanah adat sejatinya diakui oleh negara. Namun di undang-undang Agraria telah memberikan mandat bahwa seluruh tanah adat milik masyarakat adat harus segera didaftarkan.
"Belum ada penataan batas mana yang menjadi batas kawasan batasan hutan atau yang jadi milik masyarakat adat. Dalam penetapan kawasan hutan itu kan ada beberapa tahap itu, dalam undang-undang kehutanan mulai dari penunjukan kawasan hutan kemudian penataan inventaris batas dan lainnya," jelasnya.
Digarap PT TPL pada 2018
Kata dia, konflik mulai memuncak ketika tahun 2018. Kala itu, menurutnya, PT TPL melakukan aktivitas di tanah adat tanpa komunikasi dengan masyarakat setempat.
"Mereka itu melakukan aktivitas tanpa sepengetahuan sepersetujuan apalagi tanpa diawali negosiasi dari perusahaan. Harusnya sebelum perusahaan, negara dulu ya," kata dia.
"Negara harus menegaskan mana kawasan hutan dan masyarakat adat. Tapi oleh negara memberikan izin ke TPL sedangkan sama masyarakat belum jelas itu. Belum ada kesepakatan batas, sosialisasi wilayah mereka masuk dalam kawasan hutan," jelasnya.